Anehnya, hal ini sama sekali tidak dikritisi oleh tokoh-tokoh Islam kita.   Bahkan secara menyedihkan ada sejumlah tokoh Islam dan para Ustadz selebritis   yang ikut-ikutan merayakan peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei di   berbagai event. Mereka ini sebenarnya telah melakukan sesuatu tanpa memahami   esensi di balik hal yang dilakukannya. Rasulullah SAW telah mewajibkan   umatnya untuk bersikap: “Ilmu qabla amal” (Ilmu sebelum mengamalkan),   yang berarti umat Islam wajib mengetahui duduk-perkara sesuatu hal secara   benar sebelum mengerjakannya.
  Bahkan Sayyid Quthb di dalam karyanya “Tafsir Baru Atas Realitas”   (1996) menyatakan orang-orang yang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan yang   cukup adalah sama dengan orang-orang jahiliyah, walau orang itu mungkin   seorang ustadz bahkan profesor. Jangan sampai kita “Fa Innahu Minhum”   (kita menjadi golongan mereka) terhadap kejahiliyahan.
  Agar kita tidak terperosok berkali-kali ke dalam lubang yang sama, sesuatu   yang bahkan tidak pernah dilakukan seekor keledai sekali pun, ada baiknya   kita memahami siapa sebenarnya Boedhi Oetomo itu.
  Pendukung Penjajahan Belanda Akhir Februari 2003, sebuah amplop besar pagi-pagi telah tergeletak di atas   meja kerja penulis. Pengirimnya KH. Firdaus AN, mantan Ketua   Majelis Syuro Syarikat Islam kelahiran Maninjau tahun 1924. Di dalam   amplop coklat itu, tersembul sebuah buku berjudul “Syarikat Islam Bukan   Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa” karya si pengirim. Di halaman   pertama, KH. Firdaus AN menulis: “Hadiah kenang-kenangan untuk Ananda   Rizki Ridyasmara dari Penulis, Semoga Bermanfaat!” Di bawah tanda tangan   beliau tercantum tanggal 20. 2. 2003.
  KH. Firdaus AN telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Namun   pertemuan-pertemuan dengan beliau, berbagai diskusi dan obrolan ringan antara   penulis dengan beliau, masih terbayang jelas seolah baru kemarin terjadinya.   Selain topik pengkhianatan the founding-fathers bangsa ini yang   berakibat dihilangkannya tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945, topik   diskusi lainnya yang sangat konsern beliau bahas adalah tentang Boedhi   Oetomo.
  “BO tidak memiliki andil sedikit pun   unuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji   Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas   Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu   gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.     BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya   orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja   tidak boleh menjadi anggotanya, ” tegas KH. Firdaus AN.     BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa   kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin   oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap   pemerintah kolonial Belanda. BO pertama kali diketuai oleh Raden T.   Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin   hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo   dari Keraton Paku Alam VIII Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan   sangat setia dan patuh pada induk semangnya.
  Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran   dasar organisasi, BO menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia.    “Tidak pernah sekali pun rapat BO membahas tentang kesadaran   berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana   memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan   Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan   Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka, ” papar KH.   Firdaus AN.    Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis “Tujuan organisasi   untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura   secara harmonis.” Inilah tujuan BO, bersifat Jawa-Madura sentris, sama   sekali bukan kebangsaan.
  Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten   van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging berkata: “Agama   Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya... Sebab itu soal agama   harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.   ”
  Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah   asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah   “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama   daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya   Kiblat!” (M. S) Al-Lisan nomor 24, 1938.
  Karena sifatnya yang tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda, maka tidak   ada satu pun anggota BO yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Arah   perjuangan BO yang sama sekali tidak berasas kebangsaan, melainkan chauvinisme   sempit sebatas memperjuangkan Jawa dan Madura saja telah mengecewakan dua   tokoh besar BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto   Mangunkusumo, sehingga keduanya hengkang dari BO.
        Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan.   Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar,   ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Lodge   Mataram sejak tahun 1895.
  Sekretaris BO (1916), Boediardjo, juga seorang Mason yang mendirikan   cabangnya sendiri yang dinamakan Mason   Boediardjo.     Hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat   Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia   1764-1962” (Dr. Th. Stevens), sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya   diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.     Dalam tulisan kedua akan dibahas mengenai organisasi kebangsaan pertama di   Indonesia, Syarikat Islam, yang telah berdiri tiga tahun sebelum BO, dan   perbandinganya dengan BO, sehingga kita dengan akal yang jernih bisa menilai   bahwa Hari Kebangkitan Nasional seharusnya mengacu pada kelahiran SI pada   tanggal 16 Oktober 1905, sama sekali bukan 20 Mei 1908. (Bersambung/Rizki   Ridyasmara/eramuslim)     |   
     |     Dalam tulisan bagian pertama, telah dipaparkan betapa   organisasi Boedhi Oetomo (BO) sama sekali tidak pantas dijadikan tonggak   kebangkitan nasional. Karena BO tidak pernah membahas kebangsaan dan   nasionalisme, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, anti agama, dan   bahkan sejumlah tokohnya ternyata anggota Freemasonry. Ini semua mengecewakan   dua pendiri BO sendiri yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo,   sehingga keduanya akhirnya hengkang dari BO.
  Tiga tahun sebelum BO dibentuk, Haji Samanhudi dan kawan-kawan mendirikan   Syarikat Islam (SI, awalnya Syarikat Dagang Islam, SDI) di Solo pada tanggal   16 Oktober 1905. “Ini merupakan organisasi Islam yang terpanjang dan tertua   umurnya dari semua organisasi massa di tanah air Indonesia, ” tulis KH. Firdaus   AN.
  Berbeda dengan BO yang hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura—juga   hanya menerima keanggotaan orang Jawa dan Madura, sehingga para pengurusnya   pun hanya terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura—sifat SI lebih nasionalis.   Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas Islam.   Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku   seperti: Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan   Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari   Maluku.
  Guna mengetahui perbandingan antara kedua organisasi tersebut—SI dan BO—maka   di bawah ini dipaparkan perbandingan antara keduanya:
  Perbandingan   SI vs BO               |       Keterangan       |            SI       |            BO       |               |       Tujuan       |            SI bertujuan Islam Raya dan Indonesia Raya,        |            BO bertujuan menggalang kerjasama guna memajukan     Jawa-Madura (Anggaran Dasar BO Pasal 2).       |               |       Sifat       |            SI bersifat nasional untuk seluruh bangsa Indonesia,        |            BO besifat kesukuan yang sempit, terbatas hanya     Jawa-Madura,        |               |       Bahasa       |            SI berbahasa Indonesia, anggaran dasarnya ditulis dalam     bahasa Indonesia,        |            BO berbahasa Belanda, anggaran dasarnya ditulis dalam     bahasa Belanda       |               |       Sikap Terhadap Belanda       |            SI bersikap non-koperatif dan anti terhadap penjajahan     kolonial Belanda,        |            BO bersikap menggalang kerjasama dengan penjajah Belanda     karena sebagian besar tokoh-tokohnya terdiri dari kaum priyayi pegawai     pemerintah kolonial Belanda,        |               |       Sikap Terhadap Agama       |            SI membela Islam dan memperjuangkan kebenarannya,        |            BO bersikap anti Islam dan anti Arab (dibenarkna oleh     sejarawan Hamid Algadrie dan Dr. Radjiman)       |               |       Perjuangan Kemerdekaan       |            SI memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengantar     bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan,        |            BO tidak pernah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan     telah membubarkan diri tahun 1935, sebab itu tidak mengantarkan bangsa ini     melewati pintu gerbang kemerdekaan,        |               |       Korban Perjuangan       |            Anggota SI berdesak-desakan masuk penjara, ditembak mati     oleh Belanda, dan banyak anggotanya yang dibuang ke Digul, Irian Barat,       |            Anggota BO tidak ada satu pun yang masuk penjara,     apalagi ditembak dan dibuang ke Digul,        |               |       Kerakyatan       |            SI bersifat kerakyatan dan kebangsaan,        |            BO bersifat feodal dan keningratan,        |               |       Melawan Arus       |            SI berjuang melawan arus penjajahan,        |            BO menurutkan kemauan arus penjajahan,        |               |       Kelahiran       |            SI (SDI) lahir 3 tahun sebelum BO yakni 16 Oktober 1905,            |            BO baru lahir pada 20 Mei 1908,        |             
  Seharusnya 16 Oktober Hari Kebangkitan Nasional yang sejak tahun 1948 kadung diperingati setiap   tanggal 20 Mei sepanjang tahun, seharusnya dihapus dan digantikan dengan   tanggal 16 Oktober, hari berdirinya Syarikat Islam. Hari Kebangkitan Nasional   Indonesia seharusnya diperingati tiap tanggal 16 Oktober, bukan 20 Mei. Tidak   ada alasan apa pun yang masuk akal dan logis untuk menolak hal ini.
  Jika kesalahan tersebut masih saja dilakukan, bahkan dilestarikan, maka saya   khawatir bahwa jangan-jangan kesalahan tersebut disengaja. Saya juga   khawatir, jangan-jangan kesengajaan tersebut dilakukan oleh para pejabat   bangsa ini yang sesungguhnya anti Islam dan a-historis.
  Jika keledai saja tidak terperosok ke lubang yang sama hingga dua kali, maka   sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia seharusnya mulai hari ini juga   menghapus tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, dan melingkari   besar-besar tanggal 16 Oktober dengan spidol merah dengan catatan “Hari   Kebangkitan Nasional”. (Tamat/Rizki Ridyasmara/eramuslim)     |   
  
Tidak ada komentar:
Posting Komentar